Dunia Kertas Rima: Ketika Kenangan Menjadi Arsip yang Tak Bisa Dimusnahkan

Sebuah cerita tentang kenangan, kertas, dan arsip yang tak sekadar benda mati. Dunia Kertas Rima mengajakmu menyelami perjalanan batin seorang perempuan yang menyimpan hidupnya dalam lembar demi lembar.

Arieni Mayesha

4/18/20252 min read

Dunia Kertas Rima
Dunia Kertas Rima

Tidak semua luka diceritakan, tidak semua ingatan diungkapkan. Ada yang memilih menyimpannya dalam ingatan, ada pula yang menuangkannya dalam kata-kata. Bersenandika bukan sekadar berbicara kepada diri sendiri, tetapi juga sebuah cara untuk berdamai dengan masa lalu, memahami perasaan yang belum selesai, dan menemukan makna dalam kehilangan.

Inilah yang hadir dalam Senandika, antologi yang merangkum sepuluh kisah pemenang kompetisi Sekacil. Setiap cerita membawa suara yang menggema dalam sunyi—tentang pergulatan batin, tentang harapan yang bertahan, dan tentang cara masing-masing individu menemukan jalan untuk melanjutkan hidup. Salah satunya adalah kisah Rima, seorang perempuan yang menemukan pelipur dalam dunia yang mungkin tak banyak orang pahami—dunia kertas.

Dunia Kertas Rima: Ketika Kenangan Menjadi Arsip yang Tak Bisa Dimusnahkan

Bagi sebagian orang, kertas hanyalah benda mati—mudah dirobek, dibuang, atau dibakar. Namun bagi Rima, kertas bukan sekadar media untuk mencatat, tetapi juga rumah bagi kenangan, saksi bisu perjalanan hidup yang ingin ia simpan selamanya.

Sebagai arsiparis muda, ia bekerja di antara lembaran-lembaran yang dianggap tak lagi berguna, dokumen-dokumen yang menurut aturan harus dimusnahkan. Namun di matanya, setiap lembar kertas menyimpan cerita, jejak kehidupan yang tak seharusnya hilang begitu saja. Baginya, kertas memiliki nyawa, memiliki sejarah, memiliki hak untuk bertahan.

Bagaimana jika dunia yang ia bangun perlahan mulai runtuh?

Rima selalu percaya bahwa kertas adalah penyimpan kenangan terbaik. Sejak kecil, ia tumbuh di antara lembaran-lembaran yang membentuk dunianya—kertas buram yang diberikan ayahnya, pewarna yang diajarkan ibunya, hingga coretan masa kecilnya yang menjadi satu-satunya ruang untuk meluapkan perasaannya. Bagi Rima, kertas adalah teman setia, sesuatu yang selalu mendengar tanpa menghakimi, yang menyimpan segala luka dan harapan yang tak bisa ia ungkapkan kepada siapa pun.

Maka ketika dokumen-dokumen di kantornya mulai dihancurkan satu per satu, ia tidak hanya melihat kertas yang terbakar, tetapi juga bagian dari dirinya sendiri yang ikut musnah. Api yang melalap lembaran-lembaran itu seperti menghapus sejarah yang tak akan bisa diulang. Bisakah sesuatu tetap hidup hanya dalam ingatan? Ataukah kita benar-benar kehilangan ketika sesuatu telah musnah secara fisik?

Dalam "Dunia Kertas Rima", Chaery Ma merajut kisah yang menyentuh tentang ingatan yang tertulis, tentang hubungan manusia dengan benda-benda yang sering kita anggap remeh. Seiring perjalanan Rima dalam menghadapi pekerjaannya, ingatan masa kecilnya perlahan kembali—membawanya pada pertanyaan besar yang tak pernah benar-benar ia jawab: Seberapa jauh kita bisa mempertahankan sesuatu sebelum akhirnya harus merelakannya?

Ketika sesuatu yang selama ini ia anggap sebagai penyelamat justru mulai menenggelamkannya, Rima harus menghadapi satu kenyataan yang mungkin tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Apakah ia akan terus berusaha menyelamatkan sesuatu yang tak bisa diselamatkan? Ataukah ia akhirnya harus merelakan semuanya?

Dengan gaya narasi yang tajam dan emosional, "Dunia Kertas Rima" membawa kita pada refleksi tentang kehilangan, kepedihan, dan keinginan untuk tetap menggenggam sesuatu yang berharga. Namun, apakah semua yang tertulis harus tetap ada? Ataukah ada saatnya kita membiarkan sesuatu lenyap, seperti lembaran kertas yang terbakar oleh waktu?

Buku Senandika segera hadir! Sepuluh kisah pemenang sayembara cerita pendek kesehatan mental dari Sekacil akan segera bisa dinikmati. Nantikan kehadirannya dan biarkan setiap kisahnya menemani perjalanan berpikir dan merasa.

Sambil menunggu, kamu juga bisa membaca antologi sebelumnya, Kutikula—berisi cerita-cerita tentang luka, penerimaan, dan perjuangan mental yang tak kalah menggugah.