Lokalitas dan Sejarah: Dua Akar Kuat dalam Tren Sastra Hari Ini

Simak bagaimana lokalitas dan sejarah kembali menjadi kekuatan utama dalam karya-karya finalis tahun ini. Hadiah Sastra Ayu Utami “Rasa” 2025 menobatkan Inyik Balang karya Andre Septiawan sebagai pemenang utama.

Arieni Mayesha

6/17/20252 min read

lokalitas dan sejarah
lokalitas dan sejarah

Hadiah Sastra Ayu Utami untuk Penulis Pemula “Rasa” #4 Tahun 2025 kembali menjadi ruang penting bagi suara-suara baru dalam kesusastraan Indonesia. Dari 51 naskah buku fiksi yang terbit selama tahun 2024, sepuluh karya terpilih sebagai finalis—menunjukkan beragam pendekatan yang kuat dan segar: mulai dari realisme magis yang menghantui, narasi sejarah kolonial yang rinci, hingga cerita-cerita perempuan dan ruang batin yang kompleks.

Berikut daftar finalis lengkapnya:

  1. Born and Everything BetweenLudira Lazuardi (Gamagatra)

  2. Iblis Tanah SuciArianto Adipurwanto (Diva Press)

  3. Ibu dan Rahasia BesarAris Risma Sunarmas (Langgam Pustaka)

  4. Inyik BalangAndre Septiawan (Kepustakaan Populer Gramedia)

  5. Kemarau di SedanauAsroruddin Zoechni (Bhuana Sastra)

  6. Kronik Pembunuhan SelmaK.A. Sulkhan (Penerbit Basabasi)

  7. LaotElsa Putri Ermisah Syafril (Kolektif Radio Buku)

  8. MatthesAlan TH (Kepustakaan Populer Gramedia)

  9. Mencari Sita di Hindia BelandaAngelina Enny (Kepustakaan Populer Gramedia)

  10. Romansa STOVIASania Rasyid (Kepustakaan Populer Gramedia)

Tiga karya di antaranya diumumkan sebagai pemenang:
🏅 Juara 1:
Inyik BalangAndre Septiawan
🥈 Juara 2 bersama:
Kronik Pembunuhan SelmaK.A. Sulkhan & Mencari Sita di Hindia BelandaAngelina Enny

Dari Rimba Minang ke Halaman Buku

Pemenang utama tahun ini, Inyik Balang karya Andre Septiawan, merupakan novel yang menyelam dalam mitos dan memori. Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, karya ini menggali sosok inyiak balang—harimau belang dalam budaya Minangkabau—yang dalam cerita rakyat dipercaya sebagai penjaga rimba. Namun Andre tidak semata-mata menulis ulang legenda. Ia menyulamnya dengan sejarah satu abad Minangkabau, lalu meramunya lewat gaya realis-magis, bahasa lisan yang luwes, dan humor ironis yang khas.

Menurut Ayu Utami, juri tahap awal dan penggagas Hadiah Sastra “Rasa”, kekuatan novel ini terletak pada kemampuan Andre menyatukan ragam unsur naratif secara kalis: “Penulisnya mengolah bahasa lisan, sastra lisan setempat, dan sastra Indonesia modern dengan sangat bagus. Banyak penulis yang mencoba, tapi karyanya sulit dipahami. Yang ini menyenangkan.”

Finalis lainnya tak kalah menggugah. Laot menyuarakan ruang hidup perempuan pesisir; Iblis Tanah Suci menjelajahi spiritualitas dan kekerasan dengan pendekatan yang kontemplatif; Romansa STOVIA dan Matthes menghidupkan ulang sejarah kolonial dengan riset dan empati; sementara Born and Everything Between dan Ibu dan Rahasia Besar berbicara tentang tubuh, keluarga, dan ruang diam perempuan.

Penghargaan Sastra Sebagai Gerbang dan Kompas

Hadiah Sastra Ayu Utami untuk Penulis Pemula “Rasa” dimulai pada tahun 2022 sebagai inisiatif pribadi Ayu Utami, yang menggunakan dana hadiah dari Penghargaan Achmad Bakrie untuk mendorong penulis pemula Indonesia. Tahun ini, penjurian dilakukan dalam dua tahap: tahap awal oleh Ayu Utami, kemudian dilanjutkan oleh Ni Made Purnama Sari, Feby Indirani, dan Erik Prasetya sebagai dewan juri akhir.

Andre Septiawan, penulis asal Pariaman, Sumatera Barat, menyambut penghargaan ini sebagai langkah penting dalam perjalanan menulisnya:

“Saya menganggapnya sebagai batu sandungan sekaligus batu lompatan. Namun saya tidak merasa terlalu terbebani. Yang jelas, sangat bersyukur dengan penghargaan ini.”

Ia juga menekankan perlunya ekosistem sastra yang lebih aktif dan terdesentralisasi:

“Sayangnya belum banyak daerah yang menyelenggarakan penghargaan sastra secara rutin. Padahal ini penting, agar karya-karya dari daerah bisa lebih dikenal luas. Penulis juga jadi lebih termotivasi untuk mengenalkan lokalitas mereka sendiri lewat tulisan.”

Senada dengan itu, sastrawan dan Wakil Ketua Dewan Kesenian Jakarta Hasan Aspahani menyampaikan bahwa penghargaan seperti ini dapat memperkuat ekosistem sastra. Ia mencontohkan bagaimana di luar negeri penghargaan diberikan untuk kategori yang lebih spesifik, seperti penulis buku kedua atau penulis muda yang sempat vakum. “Semua elemen harus bergerak tumbuh. Hanya itu yang membuat ekosistem sastra sehat,” ujarnya.

Inyik Balang dan para finalis Hadiah Sastra “Rasa” tahun ini membuktikan bahwa kisah-kisah besar bisa tumbuh dari tanah yang akrab—dari gang-gang kecil, dari hutan yang sunyi, dari arsip yang terlipat, atau dari rahasia yang diwariskan secara diam-diam.

Sekacil mengucapkan selamat kepada semua finalis dan pemenang.