Senandika Kartini: Ruang Kecil, Suara Nyaring

Memperingati Hari Kartini dengan menilik kembali kekuatan suara yang lahir dari ruang-ruang kecil. Tulisan ini mengajak kita menulis, mendengar, dan memberi ruang.

Arieni Mayesha

4/21/20252 min read

Senandika Kartini
Senandika Kartini

Kartini tak pernah punya panggung. Ia menulis dari balik dinding rumah, dalam ruang yang kecil dan sunyi. Tak ada mikrofon, tak ada ruang bicara publik. Hanya ada selembar kertas dan pena yang membawa suaranya menjangkau dunia.

Tapi justru dari ruang kecil itulah, Kartini berbicara. Tentang pendidikan, tentang kebebasan berpikir, tentang menjadi perempuan yang utuh. Ia menulis bukan karena yakin akan didengar, tapi karena tahu diam tak akan mengubah apa-apa. Ia menyusun pikirannya dalam kalimat yang tajam meski tersimpan sedikit kerapuhan, penuh harap serta jujur.

Hingga hari ini, suara Kartini terus bergema. Tapi mungkin tak lagi dalam bentuk surat kepada Ny. Abendanon. Ia muncul dalam bentuk lain: puisi di media sosial, esai di blog pribadi, curahan hati di catatan ponsel, bahkan rekaman suara yang tak pernah diputar. Suaranya kini menjadi suara kita—yang menulis bukan untuk menjadi besar, tapi untuk bertahan.

Suara yang Kecil, Tapi Tak Kalah Nyaring

Menulis memang mungkin tak tampak heroik bagi orang lain, tapi menulis dapat membebaskan kita dari rasa dan emosi yang membelenggu. Menulis juga dapat selalu menjadi katarsis.

Dari sebuah caption atau tulisan singkat diari, kita menyusun jejak. Menyuarakan isi hati yang tak sempat terucap. Menuliskan ulang hal-hal yang tak selesai, sebagai pengingat bahwa kita pernah ada di titik tertentu. Jika moment itu baik, tentu menyenangkan mengingatnya. Namun jika itu moment yang kurang baik, dapat menjadi pengingat agar tidak terulang.

Terlebih di dunia yang semakin cepat, semakin ramai, semakin bising—menulis menjadi cara untuk menepi. Untuk merawat diri sendiri. Barangkali untuk mengingat apa yang pernah membuat kita ingin menyerah, tapi tetap bertahan. Menulis juga untuk merayakan diri.

Sekacil dan Ruang-Ruang

Di Sekacil, kami percaya: ruang yang kecil pun bisa menjadi rumah bagi suara-suara yang nyaring—jika kita mau mendengar suara hati. Di sinilah cerita-cerita seperti Kutikula dan Senandika lahir.

Tulisan yang dikirim bukan selalu dari penulis yang percaya diri. Banyak di antaranya adalah suara-suara yang sudah terlalu lama bungkam. Yang mengumpulkan keberanian untuk jujur pada diri sendiri setelah bertahun-tahun memendam.

Menulis, tentu menjadi ruang aman. Ruang di mana perempuan tak perlu selalu kuat, tak perlu selalu sempurna, tak perlu selalu bisa menjelaskan semua perasaannya secara logis. Menulis merupakan cara merawat luka.

Mewarisi Kartini: Bukan dalam Seragam, Tapi dalam Suara

Kita tak perlu menjadi Kartini. Tapi kita bisa memilih untuk mewarisi semangatnya: semangat untuk menyuarakan yang dianggap sepele, memperjuangkan yang dianggap remeh, dan mempertahankan yang kita yakini benar—meski sendirian.

Perjuangan hari ini tak selalu berupa pidato atau aksi besar. Ia bisa lahir dari hal-hal yang tampaknya kecil: menulis dengan jujur tentang kelelahan, memulai percakapan soal kesehatan mental di ruang keluarga, atau sekadar membaca dan mendengarkan cerita orang lain tanpa menghakimi.

Kartini pernah menulis dari dalam ruang sempit—dan dunia kini mendengarnya. Hari ini, kita pun bisa menulis dari ruang-ruang kecil dalam kita sendiri. Di mana saja, di dalam kamar kos, pada sela jam kerja, di waktu jeda antara cucian dan masakan. Dari mana pun.

Karena suara yang paling nyaring tak selalu datang dari panggung besar. Kadang, ia lahir dari ruang yang sunyi dan jujur.

Selamat Hari Kartini.