Menjura Dewa, Liong Hok Bio: Sebuah Senandika tentang Luka dan Doa
Tentang luka yang tak hanya menyakitkan, tetapi juga mengajarkan penerimaan. Menjura Dewa, Liong Hok Bio membawa kita dalam perjalanan batin yang mendalam—sebuah senandika tentang kehilangan, doa, dan harapan yang tersisa.
Arieni Mayesha
3/7/20252 min read


Bagaimana rasanya bercakap-cakap dengan diri sendiri? Bersenandika bukan sekadar monolog batin, melainkan perjalanan mengenali luka, memahami ketakutan, dan menerima kehadiran diri yang utuh. Inilah yang coba disampaikan oleh Senandika, antologi cerita yang menghimpun sepuluh kisah pemenang kompetisi Sekacil.
Setiap cerita dalam buku ini adalah sebuah perjalanan—ada yang bertutur dalam keheningan, ada yang berteriak dalam diam. Namun satu hal yang pasti, mereka semua membawa suara yang perlu didengar. Sebagai pembuka, mari kita menyelami kisah pemenang pertama, sebuah cerita yang akan menetap lama di benak pembaca.
Menjura Dewa, Liong Hok Bio: Sebuah Senandika tentang Luka dan Doa
"Bila tubuhmu luka, kau hanya akan mengaduh. Tapi bila batinmu yang terluka, mengadulah. Sembahyanglah menjura para dewa."
Kata-kata ini terus terngiang di benak Ann, tokoh utama dalam cerita "Menjura Dewa, Liong Hok Bio". Sebuah nasihat dari ibunya yang kini telah tiada, meninggalkan luka yang tak kasat mata, tetapi terus mengendap dalam batin. Dalam hening dupa dan doa di klenteng Liong Hok Bio, Ann berharap menemukan kelegaan. Namun, bisik-bisik gunjingan dan bayang-bayang masa lalu tetap menghantuinya.
Dalam budaya Tionghoa, menjura artinya membungkuk dalam-dalam sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur atau dewa. Namun, lebih dari sekadar gerakan fisik, menjura juga mencerminkan kerendahan hati, penerimaan, dan refleksi batin.
Dalam cerita ini, menjura bukan hanya sekadar sembah sujud, tetapi juga simbol perjalanan batin Ann—sebuah upaya untuk memahami, menerima, dan mungkin, melepaskan luka yang ia bawa selama ini. Di antara kepulan asap hio dan gemerlap lampion, Ann menundukkan kepala, menyatukan kedua telapak tangan, dan merapalkan doa. Ia berharap suara yang ia sampaikan dalam kesunyian akan sampai ke para dewa—dan mungkin, juga kepada dirinya sendiri. Sebab, berdoa juga sebuah senandika, sebuah cara untuk berdialog dengan diri sendiri dalam sunyi, menggali luka-luka yang mengendap, dan mencari pemahaman di dalamnya.
Cerita karya Krisnaldo Triguswinri ini bukan sekadar tentang kehilangan, tetapi juga tentang pergulatan batin seseorang yang berusaha memahami luka masa lalunya. Ann, yang tumbuh dalam lingkungan penuh kekerasan, mendapati dirinya terjebak dalam pusaran kenangan. Klenteng menjadi saksi bisu dari doa-doa yang ia panjatkan, permohonan yang berulang kali ia sampaikan kepada dewa, mencari jawaban atas kebimbangannya—haruskah ia menerima nasib, ataukah ada jalan lain untuk menemukan ketenangan?
Dengan latar sejarah yang kaya dan narasi yang tajam, "Menjura Dewa, Liong Hok Bio" bukan hanya menggambarkan perjalanan batin seorang perempuan, tetapi juga menjadi refleksi bagi siapa pun yang pernah merasa terasing dalam dirinya sendiri. Lewat tulisan yang lirih namun kuat, Krisnaldo Triguswinri merajut kisah yang tak hanya menggugah, tetapi juga mengingatkan kita bahwa dalam kesunyian, sering kali kita menemukan suara yang paling jujur.
Nantikan buku antologi cerpen: Senandika, yang berisikan 10 cerita dari 10 pemenang sayembara cerita pendek kesehatan mental dari Sekacil.
CONTACT US:
email: halosekacil@gmail.com
ABOUT US:
Sekacil adalah komunitas berskala kecil yang bergerak di bidang literasi.


Copyright © Sekala Kecil - 2024
Social media: