May Day! Mayday! Saatnya Bicara Work Life Balance Biar Nggak Burnout
Di Hari Buruh atau dikenal juga May Day ini, Sekacil mengajakmu merenungkan arti work life balance—bukan sekadar gaya hidup, tapi kebutuhan dasar kita tak kehilangan diri di tengah kesibukan.
Arieni Mayesha
5/1/20254 min read


Halo, Kancil!
Setiap tanggal 1 Mei, kita mengenang perjuangan panjang para buruh—orang-orang yang memperjuangkan kerja yang layak, jam kerja yang manusiawi, dan hidup yang utuh. Tapi hari ini, kita juga perlu menengok satu kenyataan lain yang sering kali kita abaikan: kelelahan yang pelan-pelan membentuk gunung di dalam tubuh dan pikiran kita. Kelelahan yang bukan hanya fisik, tapi menyusup ke cara kita merasa, mencinta, bahkan berpikir. Kita menyebutnya: burnout.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), burnout merupakan sebuah sindrom akibat stres kronis di tempat kerja yang tidak berhasil dikelola—ditandai dengan rasa lelah ekstrem, perasaan sinis terhadap pekerjaan, dan menurunnya performa. Laporan Gallup tahun 2019 menemukan bahwa 1 dari 4 pekerja mengalami burnout secara konsisten, dan hampir setengahnya (44%) merasakannya sesekali. Penyebabnya sangat dekat dengan keseharian kita: jam kerja yang berlebihan, ekspektasi yang tidak realistis, dan batas antara hidup dan pekerjaan yang makin kabur.
Dan mungkin kamu tidak butuh survei untuk tahu rasanya.
Karena kita semua—di satu titik—pernah merasa kehabisan napas di tengah kesibukan yang tampaknya tak berujung.
Hidup Ramai dan Sibuk, Tapi Tak Terasa Hidup
Pernahkah kamu bangun tidur dan langsung dicegat notifikasi kerja?
Pernahkah makan siangmu disela rapat, dan malam harimu diambil alih oleh "deadline kecil-kecilan"?
Hari-hari terasa penuh, tetapi kosong. Tubuhmu bergerak, tapi hatimu terasa tertinggal.
Kita sibuk bukan main. Jadwal padat, to-do list panjang, dan rasa bersalah tiap kali ingin beristirahat. Semacam, tidak terasa layak dan tepat untuk istirahat padahal kita membutuhkannya. Kita hidup dalam sistem yang memuja kesibukan, seolah-olah semakin sibuk seseorang, semakin layak ia dianggap berhasil. Padahal, di balik semua itu, ada suara kecil dalam diri yang terus berkata: “Aku capek, tapi kenapa rasanya nggak bisa dan boleh istirahat?”
Kerja Terus-Menerus Bukan Prestasi
Kita tumbuh dalam budaya yang semakin terlihat sibuk, semakin banyak uang, barangkali menganggap istirahat sebagai kelemahan, bahkan bekerja dengan sistem WFH saja dipertanyakan kepegawaian kita oleh orang-orang sekitar.
Padahal, bekerja tanpa jeda justru pelan-pelan mengikis kita. Bukan hanya energi, tapi juga kemampuan kita menikmati hal-hal kecil, kepekaan terhadap sekitar, bahkan kualitas bekerja itu sendiri. Bukankah kalau kelelahan fokus kita perlahan berkurang?
Kelelahan bekerja hingga burnout membuat kita mati rasa. Membuat hidup terasa seperti daftar tugas yang tak pernah selesai. Tidak hanya itu, perlahan kita bisa tidak lagi dapat menyukai pekerjaan, padahal awalnya sesuai dengan passion.
Work life balance, yang sering dipopulerkan sebagai gaya hidup seringkali terabaikan atau sekadar jargon keseimbanga produktivitas dan waktu diri, sebenarnya bukan soal tampilan luar—bukan pula tentang punya waktu untuk yoga atau coffee break Instagramable.
Work life balance merupakan keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kebutuhan pribadi—bukan hanya fisik, tapi juga emosional, sosial, dan spiritual. Ia merupakan bentuk dasar dari keberlangsungan hidup manusia, karena tidak ada satu pun dari kita yang bisa terus berfungsi dengan optimal jika tidak pernah diberi ruang untuk pulih. Tentunya kita butuh keseimbangan antara bekerja dan hidup, tepat seperti artinya. Bukan sebuah kemewahan, melainkan kebutuhan untuk stabil dan seimbang.
Karena tidak ada satu pun dari kita yang dapat terus berjalan tanpa henti sejenak sekadar untuk menarik napas panjang. Bahkan mesin pun perlu dimatikan dan diservis secara berkala.
May Day: Mengingat Hak untuk Hidup
May Day lahir dari perjuangan panjang—agar manusia tak lagi harus bekerja 12–16 jam sehari tanpa upah dan tanpa perlindungan. Hari ini, meskipun angka jam kerja tampak sedikit manusiawi, namun tekanan mental, ekspektasi atasan, dan beban KPI tetap saja berat, bukan? Kita bekerja tidak hanya dengan tangan, tapi juga dengan pikiran bahkan seluruh tubuh.
Hari ini, kita tidak hanya memperjuangkan gaji dan jam kerja. Kita juga memperjuangkan hak untuk hidup secara utuh. Untuk bisa pulang, untuk bisa rebah, untuk bisa istirahat tanpa merasa bersalah.
“Kalau kita menghabiskan seluruh hidup untuk bekerja, kapan kita sempat hidup dan menikmati hasil dari bekerja?”
Mulai dari Hal Kecil: Memberi Ruang untuk Diri Sendiri
Tidak semua orang punya kemewahan untuk cuti panjang atau liburan ke tempat jauh. Tapi setiap orang berhak punya ruang—meskipun kecil—untuk merawat dirinya sendiri. Ruang ini bisa hadir lewat kebiasaan sederhana yang dilakukan secara sadar dan penuh kasih.
1. Mematikan notifikasi setelah jam kerja
Batas waktu bukan cuma soal jam kantor, tapi juga soal menjaga kewarasan. Ketika kita memutuskan untuk tidak lagi membaca email kerja atau membalas chat grup kantor setelah waktu tertentu, kita sedang memberi tahu diri sendiri: aku berhak untuk istirahat. Dunia tidak akan runtuh jika kamu tidak cepat membalas, tapi tubuhmu bisa pelan-pelan roboh jika terus terjaga.
2. Membaca satu halaman buku sebelum tidur
Tidak perlu target ambisius. Satu halaman cukup, asal dilakukan dengan hati yang sukacita. Buku memberi ruang untuk berpindah dari dunia yang riuh ke dunia yang tenang. Dari tuntutan luar ke percakapan dalam. Ini bukan tentang menyelesaikan bacaan, tapi tentang menyentuh kembali bagian dalam diri yang selama ini tertinggal.
3. Menulis catatan kecil tentang apa yang kita rasakan hari ini
Menulis merupakan cara paling sederhana untuk jujur, bahkan ketika tak ada orang lain yang bisa mendengarkan. Kamu bisa menuliskannya di catatan ponsel, selembar kertas, atau jurnal lusuh yang sudah lama tidak dibuka. Apa pun medianya, yang penting adalah keberanian untuk menyapa diri: “Bagaimana kabarmu hari ini?”
4. Duduk diam selama sepuluh menit, tanpa layar, tanpa target
Barangkali selama ini kita mulai terbiasa hidup dengan ‘hurry sickness’—semuanya harus ada hasilnya dengan cepat. Padahal diam pun merupakan bentuk aktivitas, terutama saat kita melakukannya untuk kembali mengendalikan napas sendiri. Sepuluh menit tanpa ponsel, tanpa musik, tanpa tuntutan, dapat menjadi semacam jeda sakral di tengah hari yang terlalu sibuk.
5. Menghindari multitasking
Kita terbiasa mengerjakan banyak hal sekaligus: sambil balas email, menyusun caption, menyiapkan makan, mendengarkan briefing—semuanya tumpang tindih. Multitasking ini tidaklah efisien. Ia membuat perhatian kita terpecah, menguras energi lebih cepat, dan pada akhirnya membuat kita merasa lelah.
Melatih fokus pada satu hal dalam satu waktu merupakan bentuk penghargaan pada pikiran dan pekerjaan sendiri—memberi kesempatan untuk hadir penuh, meski hanya dalam satu tugas. Selesaikan satu-satu saja ya, Kancil :)
Kecil? Mungkin.
Tapi dari ruang-ruang kecil seperti inilah hidup bisa tumbuh kembali. Karena kita tidak selalu butuh langkah besar untuk bertahan—kadang, kita hanya perlu jeda yang benar-benar kita izinkan untuk ada.
Dari Mincil, Untuk Kancil
Kita tidak selalu bisa mengubah dunia kerja dalam semalam. Tapi kita bisa mulai menjaga agar dunia batin kita tidak ikut hancur di dalamnya. Mincil percaya bahwa hidup tidak harus selalu cepat. Kita bisa hidup pelan-pelan, selama arahnya jelas.
Hari ini, mari kita rayakan May Day bukan hanya dengan bekerja lebih keras, tapi dengan mencintai hidup kita lebih dalam.
Karena kamu, Kancil, bukan sekadar pekerja. Kamu juga manusia.
Dan seperti kata Maxim Gorky dalam novelnya Ibunda (Terjemahan Pram)
"Ketika kerja adalah kesenangan, hidup adalah kegembiraan. Tapi ketika kerja adalah kewajiban, hidup adalah perbudakan."
Semoga kita semua bisa menemukan bentuk kerja yang manusiawi, dan kehidupan yang tetap kita miliki utuh.
Selamat Hari Buruh. Selamat berlibur dan pulang ke dalam diri sendiri.
CONTACT US:
email: halosekacil@gmail.com
ABOUT US:
Sekacil adalah komunitas berskala kecil yang bergerak di bidang literasi.


Copyright © Sekala Kecil - 2024
Social media: